Raja Hutan Jawa

Raja Hutan Jawa

KEPRIMOBILE.COM (KMC), JAWA – Semak-semak seketika bergerak-gerak, kala sesosok tubuh loreng mengendap-endap. Sorotan tajam menatap seorang bocah yang tengah bermalas-malasan di atas punggung kerbau di area persawahan. Harimau pun langsung menyergap, untungnya sang kerbau sigap.

Bocah yang bernama Saidjah itu terpental, pergumulan kerbau dan harimau pun tak terhindarkan. Sang raja hutan hari itu memang sedang apes, tanduk sang kerbau berhasil merobek perut belangnya, usus pun terburai, raja hutan akhirnya mendapati ajalnya.

Cuplikan menit-menit awal film Max Havelaar pada 1976 ini, diangkat dari sebuah karya sastra Multatuli, yang berlatar masyarakat Banten di penghujung abad ke-19. Secuil menggambarkan alam liar hutan Jawa yang masih hijau sebagai sarang dari Harimau Jawa, di tengah persoalan penindasan era kolonial.

Harimau dan kerbau bergumul saling membunuh bukan rekaan dalam sebuah film saja. Sejak abad ke-17 di Jawa, adu kerbau dan harimau menjadi sebuah pertunjukan massal layaknya gladiator, yang biasa disebut “rampokan macan” atau rebutan macan. Kegiatan rampokan macan, biasanya dihelat saat 1 Syawal, sebagai simbol membersihkan dari gangguan.

Jurnal KITLV karya R. Wessing yang berjudul “A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan” menjelaskan sejak 1791 di Kesultanan Yogyakarta, tradisi rampokan macan secara rutin digelar, termasuk untuk menyambut tamu-tamu dari Eropa sebagai sebuah pertunjukan.

Dalam rampokan macan, harimau atau macan kumbang tak hanya diadu dengan kerbau atau banteng, tapi juga menjadi sasaran tombak para prajurit dalam sebuah perhelatan yang biasa dilakukan di pagar tertutup di alun-alun pada siang hari. Nasib harimau maupun macan tutul berakhir di ujung tombak para prajurit. Setelah 1860-an tradisi itu menyebar ke wilayah-wilayah sekitarnya, seperti Kediri dan Blitar. Namun pada 1905, pemerintah Belanda melarang tradisi rampokan macan. (Bakda Mawi Rampog, R. Kartawibawa 1928, dicuplik dalam kedirikota.go.id)

Rampokan hanya salah satu sisi kelam dari nasib Harimau Jawa dan Macan Jawa yang dibantai dalam sebuah pertunjukan terbuka. Perburuan masif terhadap karnivora ini juga jadi sisi mengerikan bagi sang raja hutan. Berbagai foto era kolonial, menggambarkan kaum pribumi yang memanggul tubuh loreng yang sudah terkulai mati dengan latar depan seseorang yang pemegang senjata laras panjang berwajah Eropa–sebuah penggambaran umum adanya perburuan Harimau Jawa pada masa kolonial.

R. Wessing dalam tulisan lainnya berjudul “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change” menggambarkan Harimau Jawa merupakan hewan buas yang umum hidup di Jawa. Pada 1822, antara wilayah Panarukan dan Banyuwangi jadi kawasan yang berbahaya bagi ternak milik penduduk. Gesekan harimau dan manusia juga tak terlepas dari perubahan peta ekonomi di Jawa, pada pertengahan abad ke-19. Pembukaan lahan hutan di Jawa untuk perkebunan menghasilkan migrasi banyak manusia. Habitat harimau pun makin terusik, sehingga harimau menyerang desa-desa. Harimau jadi pemangsa bagi ternak juga manusia, rata-rata membunuh 2.500 orang per tahun.

Pada 1822, pemerintah kolonial mulai mempekerjakan para pemburu harimau, yang berdampak pada populasi Harimau Jawa. Hingga awal 1940-an jumlah Harimau Jawa diperkirakan tinggal 200-300 ekor. Setelah era perang dunia kedua, keberadaan Harimau Jawa makin kritis. Meski demikian pada 1960, seekor Harimau Jawa sempat ditembak mati di Banyuwangi, Jawa Timur. Namun setelah itu, keberadaan Harimau Jawa cepat menghilang dari hutan-hutan di Jawa.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam situs resminya mengumumkan Harimau Jawa terakhir yang tercatat berada di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur pada 1976. Kepunahannya karena diburu dan hilangnya habitat dan mangsanya. Namun, bagi sebagian orang, masih ada yang meyakini Harimau Jawa tetap berkeliaran di hutan-hutan di Jawa meski dalam jumlah terbatas.(TIRTO.ID)

468x60

No Responses

Leave a Reply